– Bagi para pelaku bisnis online pasti sangat familiar dengan istilah
Dropship, yaitu reseller menjual produk dengan tanpa terlebih dahulu
memiliki produk dan produk yang berhasil dijual akan langsung dikirimkan
oleh supplyer kepada customer dengan atas nama reseller. Bagaimanakah
dalam Islam, aktivitas jual beli dengan sistem dropship diperbolehkan
ataukah justru haram?
Berikut ini penjelasan lengkap tentang hukum jual beli dengan menggunakan sistem dropship dari Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, MA.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban singkatnya boleh. Lalu bagaimana penjelasannya, mari kita bahas dari awal.
Dalam hukum jual-beli, tidak ada syarat yang melarang seseorang
menjual barang milik orang lain. Juga tidak ada keharusan seseorang
harus punya barang terlebih dahulu, baru boleh dia jual. Jadi
prinsipnya, seorang boleh menjual barang milik orang lain, asalkan
seizin dari yang punya. Dan seseorang boleh menjual ‘spek’ yang
barangnya belum dimilikinya.Jawaban singkatnya boleh. Lalu bagaimana penjelasannya, mari kita bahas dari awal.
Cara Pertama : Simsarah
Cara ini disebut simsarah, yaitu seeorang menjualkan barang milik orang lain dan dia mendapat fee atas jasa menjualkannya. Akad yang pertama ini disepakati kehalalnya oleh seluruh ulama.
Bukankah si penjaga toko biasanya bukan pemilik barang? Barang-barang yang ada di toko itu bukan milik penjaga. Status penjaga cuma karwayan saja, bukan pemilik toko dan juga bukan pemilik barang. Bolehkah penjaga toko menjual barang yang bukan miliknya? Jawabannya tentu 100% boleh. Justru tugas utama si penjual di toko adalah bagaimana menjualkan barang yang bukan miliknya.
Kalau penjaga toko menjual barang miliknya sendiri di toko tempat dia bekerja, itu namanya pelanggaran dan dia bisa dipecat oleh bosnya.
Dan lebih jauh, ternyata barang yang ada di toko itu pun belum tentu milik bosnya. Karena barang-barang itu ternyata cuma konsinyasi saja. Kalau barang itu laku, uangnya disetorkan, kalau tidak laku, barangnya dikembalikan. Jadi dalam hal ini status toko bukan sebagai pemilik barang, status toko hanya menjualkan barang milik orang lain.
Lalu bagaimana dengan hadits berikut ini yang melarang kita menjual sesuatu yang tidak ada pada diri kita?
لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki (HR. Tirmizy, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)
Hadits ini melarang seseorang menjual barang yang bukan miliknya,
maksudnya seseorang menjual barang yang memang dia tidak bisa
mengadakannya atau menghadirkannya. Misalnya, jual ikan tertentu yang
masih ada di tengah lautan lepas. Tentu tidak sah, karena tidak ada
kepastian bisa didapat atau tidak. Atau jual mobil yang bisa terbang
dengan tenaga surya. Untuk saat ini masih mustahil sehingga hukumnya
haram.
Selain itu para ulama juga menyebutkan
bahwa maksud larangan dalam hadits ini adalah seseorang menjual barang
milik orang lain tanpa SEIZIN dari yang empunya. Perbuatan itu namanya
pencurian alias nyolong.
Tapi kalau yang punya barang malah minta
dijualkan, tentu saja hukumnya halal. Dan yang menjualkan berhak untuk
mendapatkan fee atas jasa menjualkan.
Kesimpulannya : Tidak ada larangan menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya barang.Cara Kedua : Akad Salam (Salaf)
Cara kedua disebut dengan jual-beli salam, atau akad salam. Terkadan juga disebut dengan akad salaf. Keduanya bermakna sama. Bentuknya merupakan kebalikan dari jual-beli hutang atau kredit. Dalam jual-beli secara hutang atau kredit, barangnya diberikan duluan tetapi uangnya masih dihutang, alias dicicil.
Contohnya jual-beli sepeda motor secara kredit. Bila kita beli motor secara kredit, motor langsung kita bawa pulang, padahal uangnya masih ngutang selama tiga tahun. Status motor sudah 100% milik kita, meski pembayarannya masih berjangka.
Nah, akad salam adalah kebalikan dari akad kredit di atas. Yang dibayarkan tunai adalah uangnya, sementara barang atau jasanya dihutang. Hukumnya boleh dan sah dalam hukum syariah. Dan sebenarnya setiap hari kita sudah mempraktekkan.
Contohnya ketika kita beli tiket pesawat atau kereta api. Menjelang musim mudik, biasanya kita sudah beli tiket sejak sebulan sebelumnya, dan itu berarti kita sudah bayar secara tunai. Tetapi barang atau jasa yang menjadi hak kita baru akan kita nikmati bulan depan, sesuai dengan jadwal perjalanan kita.
Contoh lain adalah tukang jualan komputer. Modalnya cuma brosur dan spek (baca : spesifikasi) yang ditawar-tawarkan kepada calon pembeli. Lalu begitu ada yang tertarik, pembeli harus bayar lunas, tetapi komputernya akan dikirim 2-3 hari lagi. Ternyata di tukang komputer itu belum punya komputer, maka dengan uang pembayaran itulah dia berangkat ke Glodok atau Mangga Dua untuk ‘belanja’ komputer rakitan. Selesai dirakit, maka komputer itu kemudian diantarkan ke pihak pembeli.
Contoh lainnya lagi adalah ibadah haji dan umrah. Semua calon jamaah haji dan umrah harus sudah melunasi ONH atau biaya perjalanan umrah beberapa bulan sebelumnya. Padahal berangkatnya ke tanah suci masih beberapa waktu lagi.
Semua contoh di atas adalah akad salam, dimana uangnya tunai diserahkan, sementara barang atau jasanya tidak secara tunai diberikan. Dan praktek akad salam ini telah berlangsung di masa Nabi SAW dan mendapat pembenaran.
Para shahabat dahulu terbiasa menjual
kurma yang belum ada alias pohonnya belum berbuah. Namun buah yang
rencananya akan ada itu sudah ditetapkan secara detail dengan jenis
tertentu, kualitas tertentu, berat tertentu, dan juga ditetapkan kapan
akan diserahkannya.
Tentu kurma dengan spek seperti itu
bukan hal yang mustahil untuk didapat atau diwujudkan, apalagi buat
pedagang kurma di Madinah. Mereka toh sudah punya pohonnya, tiap tahun
pasti berbuah. Maka oleh karena itu hukumnya halal. Dan akad ini disebut
akad salam. Meski kurmanya belum berbuah, tetapi sudah boleh dijual
duluan, asalkan speknya jelas dan pasti.
Dasarnya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ ص اَلْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ
فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي
تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ
مَعْلُومٍ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa menjual buah kurma dengan
cara salaf satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda,”Siapa
menjual buah kurma dengan cara salaf, maka lakukanlah salaf itu dengan
timbangan yang tertentu, berat tertentu dan sampai pada masa yang
tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim).
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى،
وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالا:
كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَِسَلَّمَ وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ
فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ وَفِي
رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ
زَرْعٌ؟ قَالا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ – رَوَاهُ
اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah
bin Auf RA keduanya mengatakan,”Kami biasa mendapat ghanimah bersama
Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami melakukan
akad salaf kepada mereka untuk dibayar gandum atau sya’ir atau kismis
dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika ditanyakan
kepada kami,”Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat
ini,”Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR Bukhari dan Muslim).
قال ابن عباس : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحل الله في كتابه وأذن فيه ثم قرأ هذه الآية (أخرجه الشافعي في مسنده)
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi
bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan
telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya.
Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi’i dalam musnadnya)
Dropship Halal
Dari dua cara akad di atas, maka jual
beli dropship ini tidak melanggar ketentuan syariah. Meski kita sebagai
penjual belum punya barangnya, dan modal kita cuma spek saja, tetapi
syariat Islam membolehkan akad seperti ini. Akadnya bisa saja sebagai
simsarah, atau broker. Mungkin yang agak mendekati adalah reseller. Berarti
kita tidak membeli barang atau jasa, kita hanya membantu menjualkan
barang atau jasa orang lain. Lalu kita mendapat fee dari tiap penjualan.
Atau akadnya bisa juga pakai akad kedua,
yaitu akad salam. Pembeli membayar dulu kepada kita atas suatu barang
atau jasa yang belum kita serahkan, bahkan belum kita miliki. Lalu uang
pembayarannya itu baru kita belikan barang yang dimaksud, dan kita
jualkan kepada si pembeli, dimana kita mendapatkan selisih harganya.
Kalau barang itu mau diatas-namakan
milik kita juga boleh, karena kita memang benar-benar membeli dari
sumbernya dan kita menjual kembali. Bahwa barang itu tidak sempat mampir
ke tangan kita, tidak menjadi masalah.
Toh, minyak kelapa sawit yang ada di
hutan Kalimantan itu dijual ke berbagai negara lain (ekspor), tanpa
harus mampir ke rumah pemiliknya. Siapa pemiliknya? Ya, wong londho yang
ada di Belanda sana. Mereka cuma tahu bahwa rekening mereka tiap hari
bertambah terus, tanpa pernah melihat sendiri kayak apa minyak kelapa
sawit yang mereka perjual-belikan.
Hanya saja dalam akad salam ini, harus dipenuhi beberapa syarat dan ketentuan, antara lain :
Syarat Pada Barang
1. Bukan Ain-nya Tapi Spesifikasinya
Dalam akad salam, penjual tidak menjual
ain suatu barang tertentu yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual
adalah barang dengan spesifikasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang pedagang
material bangunan menjual secara salam 10 kantung semen dengan merek
tertentu dan berat tertentu kepada seorang pelanggan. Kesepakatannya
pembayaran dilakukuan saat ini juga, namun penyerahan semennya baru 2
bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.
Walaupun saat itu mungkin saja si
pedagang punya 10 kantung semen yang dimaksud di gudangnya, namun dalam
akad salam, bukan berarti yang harus diserahkan adalah 10 kantung itu.
Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10 kantung itu saat ini ke
pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo 2 bulan kemudian, dia
sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan.
Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung
yang tersedia di gudang, tapi yang dijual adalah 10 kantung yang lain,
yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.
2. Barang Jelas Spesifikasinya
Barang yang dipesan harus dijelaskan
spesifikasinya, baik kualitas mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya
jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi lain. Pendeknya, setiap
kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah
pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan
kriterianya, tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena
akad itu termasuk akad gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata
dilarang dalam hadits berikut:
أنَّ النبي ص نهى عن بيع الغرر- رواه مسلم
Nabi SAW jual-beli untung-untungan.” (HR Muslim)
3. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad
Apabila barang itu diserahkan tunai,
maka tujuan utama dari salam malah tidak tercapai, yaitu untuk
memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja mendapatkan barang
itu dalam tempo waktu tertentu.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan
bahwa salam itu adalah salaf, dimana akad itu memang sejak awal
ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan penyerahan barang belakangan.
4. Batas Minimal Penyerahan Barang
Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan
minimal jatuh tempo yang disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh
kurang dari itu.
Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.
Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.
5. Jelas Waktu Penyerahannya
Harus ditetapkan di saat akad dilakukan
tentang waktu (jatuh tempo) penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW :
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para fuqaha sepakat bila dalam suatu
akad salam tidak ditetapkan waktu jatuh temponya, maka akad itu batal
dan tidak sah. Dan ketidak-jelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang
itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman
atas sesama.
Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan
tanggal, bulan, atau tahun tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu
atau bulan terhitung sejak disepakatinya akad salam itu.
6. Dimungkinkan Untuk Diserahkan Pada Saatnya
Pada saat menjalankan akad salam, kedua
belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada
saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari
praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata
diharamkan dalam syari’at Islam.
Misalnya seseorang memesan buah musiman
seperti durian atau mangga dengan perjanjian: “Barang harus diadakan
pada selain waktu musim buah durian dan mangga”, maka pemesanan seperti
ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan),
akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal
diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah “memudahkan”,
sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
لا ضَرَرَ ولا ضِرَار
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan. (HR. Ahmad)
Ditambah lagi pengabaian syarat
tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing
terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap
perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan
pembeli pasti dilarang.
7. Jelas Tempat Penyerahannya
Yang dimaksud dengan barang yang
terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya.
Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha,
sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak
untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada,
atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk
menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa
saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak
bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
Demikian sedikit ulasan tentang hukum dropshipping yang Antum tanyakan, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahamtullahi wabrakatuh,
CAR,FOREX,DOAMIN,SEO,HEALTH,HOME DESIGN