Sholat adalah kewajiban bagi seorang
muslim. Satu ibadah yang bakal ditanyakan pertama kali ketika dihisab
nanti. Sholat bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Baik di darat,
di laut bahkan di udara.
Berikut ada sebuah kisah nyata yang
menarik untuk disimak, yang membuat kita tersadar tentang urgensi sholat
dan waktu yang terkadang ‘tidak berpihak’.
***
Sehabis dari toilet dalam penerbangan
Garuda Indonesia GA 605 dari Makassar Sulsel ke Jakarta, Jumat (5/8) ,
saya melihat Purser (kepala awak kabin) tengah menghamparkan sajadah di
lorong dekat pintu pesawat bagian depan.
Saya tanya, “Arah kiblat ke mana Pak?”
Sambil tersenyum dia jawab, “Kalau di
angkasa menghadap ke mana saja. Cuma saya sering melihat orang Arab
shalat di pesawat selalu berdiri. Jarang duduk,” katanya.
Si bapak itu lantas shalat, saya kembali
ke tempat duduk. Saat itu pukul 14.25 Wita, kemungkinan dia shalat
Dzuhur. Atau bisa jadi Dzuhur jamak qashar denga Ashar. Barangkali ya,
soalnya saya tidak menanyakan hal itu.
Penasaran, saya balik lagi ke depan. Dia
tengah bersujud di lorong yang letaknya di belakang toilet dekat
kokpit. Seorang pramugari tersenyum melihat saya memotret atasannya.
Sebelum si bapak selesai shalat, saya sudah kembali duduk.
Tiba-tiba ada perasaan kalah dalam hati
kecil saya. Saya tidak pernah shalat dalam pesawat, termasuk dalam
penerbangan lebih dari 12 jam. Kesulitan wudhu bisa jadi penghalang bagi
saya. Tayamum? Saya masih berpegang pada pendapat ulama bahwa debu di
kursi pesawat bukan debu untuk tayamum. Maka, bila penerbangan 1-2 jam,
biasanya lebih mudah shalat sebelum berangkat. Bapak ini sambil bekerja
tetap shalat.
Ketika mau keluar pesawat, saya bilang ke dia. “Maaf pak, tadi waktu Bapak shalat, saya izin foto.”
Dia cuma senyum.
“Waah…,” katanya.
Kalau melihat wajah, usianya mungkin antara 40-45 tahun. Dari name tag di jas hitamnya,CAR,FOREX,DOAMIN,SEO,HEALTH,HOME DESIGN