Di jaman sekarang ini beberapa orang mengeluh mengenai masalah
hutang. Biasanya karena terlilit dengan tuntutan hidup atau untuk
gaya hidup elegan mereka ikhlas berhutang kepada pihak perorangan
ataupun bank tanpa ada lihat jumlah hutang yang perlu dibayar
perbulan, hingga seringkali di kemudian hari mereka menyesal
karena terlilit dengan system ribawi.

Lantas bagaimana caranya melunasi hutang bila telah terlilit masalah
ini? Tersebut disini jalan keluar yang sudah dijelaskan dalam Al Qur'an
supaya kita dapat membayar hutang secepat-cepatnya.
Seperti dikisahkan oleh Habib Umar bin alHafidz, Suatu
saat Seseorang lelaki mendatangi kediaman Syaikh Sya’rawi.
Pada Syaikh, ia menerangkan masalahnya. kalau ia bekerja di
tempat yang syubhat (tak jelas antara halal dan haramnya
pekerjaan itu). Juga dengan berbagai product yang dihasilkan
di tempat kerjanya.
Akibat pekerjaannya tersebut, lelaki itu menjalani kehidupan yang
sangat jauh dari ketenangan. Rumah tangganya tidak bahagia. Istri
dan anaknya banyak makar. Dan berbagai keburukan lainnya.
Setelah mendengarkan penuturan lelaki tersebut, Syaikh Sya’rawi
berkata, “Wahai anakku, Keluarlah dari pekerjaanmu.”
“Bagaimana mungkin aku keluar dari pekerjaanku, sementara
hutangku kian menumpuk? Anak, istri dan beberapa orang
keluargaku masih membutuhkan nafkah dari diriku.” jawab lelaki
tersebut.
“Wahai anakku,” ujar Syaikh Sya’rawi, ketahuilah bahwa dalam Al
hutang. Biasanya karena terlilit dengan tuntutan hidup atau untuk
gaya hidup elegan mereka ikhlas berhutang kepada pihak perorangan
ataupun bank tanpa ada lihat jumlah hutang yang perlu dibayar
perbulan, hingga seringkali di kemudian hari mereka menyesal
karena terlilit dengan system ribawi.
Lantas bagaimana caranya melunasi hutang bila telah terlilit masalah
ini? Tersebut disini jalan keluar yang sudah dijelaskan dalam Al Qur'an
supaya kita dapat membayar hutang secepat-cepatnya.
Seperti dikisahkan oleh Habib Umar bin alHafidz, Suatu
saat Seseorang lelaki mendatangi kediaman Syaikh Sya’rawi.
Pada Syaikh, ia menerangkan masalahnya. kalau ia bekerja di
tempat yang syubhat (tak jelas antara halal dan haramnya
pekerjaan itu). Juga dengan berbagai product yang dihasilkan
di tempat kerjanya.
Akibat pekerjaannya tersebut, lelaki itu menjalani kehidupan yang
sangat jauh dari ketenangan. Rumah tangganya tidak bahagia. Istri
dan anaknya banyak makar. Dan berbagai keburukan lainnya.
Setelah mendengarkan penuturan lelaki tersebut, Syaikh Sya’rawi
berkata, “Wahai anakku, Keluarlah dari pekerjaanmu.”
“Bagaimana mungkin aku keluar dari pekerjaanku, sementara
hutangku kian menumpuk? Anak, istri dan beberapa orang
keluargaku masih membutuhkan nafkah dari diriku.” jawab lelaki
tersebut.
“Wahai anakku,” ujar Syaikh Sya’rawi, ketahuilah bahwa dalam Al
Qur'an dijelaskan,
‘Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka dijadikan baginya
jalan keluar (Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka dijadikan baginya
jalan keluar (atas semua persoalan).’” (QS. athThalaq [65]: 2)
Syaikh Sya’rawi melanjutkan pertanyaannya, “Mana yang lebih dulu
disebutkan? Jalan keluar atau Taqwa?”
Sangat jelas disebutkan dalam ayat diatas, Bahwa Allah Ta’ala lebih
dulu menyebutkan kata 'taqwa', baru kemudian 'jalan keluar'.
Lalu bagaimana mungkin kita mengharapkan jalan keluar terlebih
dahulu sementara diri kita berada dalam kemaksiatan dan berbagai
amal keburukan lainnya?
Akhirnya, lelaki itu mau mengikuti nasihat Syaikh Sya’rawi, atas
hidayah dari Allah Ta’ala. Tak lama kemudian, ia keluar dari
pekerjaannya dan melamar pekerjaan yang lebih baik, bayarannya
pun jauh lebih besar hingga akhirnya bia untuk menyicil hutangnya.
Beberapa bulan selanjutnya, lelaki itu dipindahkan ke Kuwait,
kemudian dipindah ke Arab Saudi, dekat dengan Masjidil Haram
dan Ka'bah.
“Dia,” terang Habib Umar bin alHafidz, “mau memperbaiki dirinya,
kemudian Allah Ta’ala melunasi hutangnya, kehidupannya pun
menjadi lebih baik. Maka dari itu, wahai Saudaraku, Bertaqwalah
kepada Allah, insyaallah dengan izin Allah jalan keluar akan
terbuka. Bagaimana mungkin engkau minta jalan keluar sementara
dirimu tidak bertaqwa (berada dalam kemaksiatan)?”
Mungkin, banyak di antara kita yang pernah membaca ayat diatas
bahkan menghafal dengan maknanya. Namun, ada begitu banyak
yang masih tenggelam dalam berbagai persoalan, padahal sudah
mengetahui solusinya.
‘Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka dijadikan baginya
jalan keluar (Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka dijadikan baginya
jalan keluar (atas semua persoalan).’” (QS. athThalaq [65]: 2)
Syaikh Sya’rawi melanjutkan pertanyaannya, “Mana yang lebih dulu
disebutkan? Jalan keluar atau Taqwa?”
Sangat jelas disebutkan dalam ayat diatas, Bahwa Allah Ta’ala lebih
dulu menyebutkan kata 'taqwa', baru kemudian 'jalan keluar'.
Lalu bagaimana mungkin kita mengharapkan jalan keluar terlebih
dahulu sementara diri kita berada dalam kemaksiatan dan berbagai
amal keburukan lainnya?
Akhirnya, lelaki itu mau mengikuti nasihat Syaikh Sya’rawi, atas
hidayah dari Allah Ta’ala. Tak lama kemudian, ia keluar dari
pekerjaannya dan melamar pekerjaan yang lebih baik, bayarannya
pun jauh lebih besar hingga akhirnya bia untuk menyicil hutangnya.
Beberapa bulan selanjutnya, lelaki itu dipindahkan ke Kuwait,
kemudian dipindah ke Arab Saudi, dekat dengan Masjidil Haram
dan Ka'bah.
“Dia,” terang Habib Umar bin alHafidz, “mau memperbaiki dirinya,
kemudian Allah Ta’ala melunasi hutangnya, kehidupannya pun
menjadi lebih baik. Maka dari itu, wahai Saudaraku, Bertaqwalah
kepada Allah, insyaallah dengan izin Allah jalan keluar akan
terbuka. Bagaimana mungkin engkau minta jalan keluar sementara
dirimu tidak bertaqwa (berada dalam kemaksiatan)?”
Mungkin, banyak di antara kita yang pernah membaca ayat diatas
bahkan menghafal dengan maknanya. Namun, ada begitu banyak
yang masih tenggelam dalam berbagai persoalan, padahal sudah
mengetahui solusinya.
CAR,FOREX,DOMAIN,SEO,HEALTH,HOME DESIGN