Menjamak Shalat karena Harus Dirias Jadi Pengantin, Bolehkah? Bagaimana Solusinya Secara Islam ? - Hallo sahabat Al Haliim,
Pada sharing kali ini yang berjudul Menjamak Shalat karena Harus Dirias
Jadi Pengantin, Bolehkah? Bagaimana Solusinya Secara Islam ?, saya
telah menyediakan informasi dari awal sampai akhir yang dirangkum dari
berbagai sumber. mudah-mudahan isi postingan yang saya tulis ini dapat
anda pahami. Baiklah Sahabat, langsung aja ni dia informasinya.
artikel : Menjamak Shalat karena Harus Dirias Jadi Pengantin, Bolehkah? Bagaimana Solusinya Secara Islam ?
artikel : Menjamak Shalat karena Harus Dirias Jadi Pengantin, Bolehkah? Bagaimana Solusinya Secara Islam ?
TANYA:
Ketika saya menikah, tukang rias menyuruh saya untuk menjamak shalat
Ashar dengan Dzhuhur dan shalat Maghribnya dijamak ta’khir dengan Isya’.
Dan semua orang nampaknya setuju dengan cara menjamak shalat seperti
itu. Katanya dalam keadaan darurat shalat boleh dijamak dan agama Islam
itu tidak menyusahkan orang. Benarkah demikian?
JAWAB:
Dikutip dari rumahfiqih.com bahwa benar sekali bahwa agama Islam itu
memberi kemudahan. Dan salah satu bentuk kemudahan dalam shalat adalah
dibolehkannya kita menjamak dua shalat dalam satu waktu. Seluruh ulama
sepakat dengan masalah ini.
Namun
yang jadi masalah adalah penyebab dari kebolehan menjamak shalat itu
sendiri. Ternyata meski memang ada kebolehan menjamak, namun untuk bisa
dijalankan harus terpenuhi syarat-syaratnya. Kalau syarat kebolehannya
belum terpenuhi, maka tidak boleh asal menjamak saja.
Khilafiyah Dalam Kebolehan Menjamak
Dari
empat mazhab yang ada memang kita menemukan khilafiyah atau perbedaan
pendapat tentang hal-hal apa saja yang membolehkan seseorang menjamak
shalat.
Yang
disepakati oleh para ulama empat mazhab tanpa sedikitpun perbedaan
adalah haji. Maksudnya bahwa seluruh ulama sepakat bahwa jamaah haji
saat berada di Arafah dan Mina disyariatkan untuk menjamak shalatnya.
Namun selain dari haji, para ulama berbeda pendapat.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Menurut
mazhab ini, satu-satunya hal dimana seseorang menjama’ shalatnya hanya
dalam rangkaian ibadah haji, yaitu ketika berada di Arafah dan Mina pada
tanggal 9 hingga 12-13 Dzhlhijjah. Alasannya karena satu-satunya hadits
yang secara tegas dan lugas menyebutkan shalat jamak hanya ketika
Rasulullah SAW berhaji. Selebihnya hanya merupakan asumsi atau dugaan
subjektif saja. Belum tentu beliau SAW menjamak shalatnya, tetapi
orang-orang menyangka beliau SAW menjamak shalatnya.
Maka
dalam pandangan mazhab ini, sekedar bepergian atau menjadi musafir
saja, kalau bukan dalam rangka haji, tidak dibolehkan untuk menjamak
shalat.
Begitu
juga mazhab ini tidak membolehkan jamak karena hujan dan sakit. Apalagi
cuma gara-gara dirias jadi pengantin, hukumnya haram menjamak shalat
karena alasannya sama sekali tidak bisa diterima dan tidak ada dalilnya.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab
Al-Malikiyah memiliki enam alasan untuk dibolehkan shalat yang dijamak.
Keenamnya adalah safar, hujan, lumpur di kegelapan, sakit, Arafah dan
Mudalifah. Kesemuanya disebutkan karena masing-masing ada hadits yang
mendasarinya.
Namun
di luar keenam hal di atas, mazhab ini tidak membolehkan untuk menjamak
shalat. Kalau kita perhatikan, tidak ada dari keenam hal di atas yang
menyebutkan bahwa shalat boleh dijamak gara-gara pengantin lagi dirias
dan takut luntur bedaknya kena air wudhu’.
Mazhab
ini pun tidak mencantumkan istilah ‘darurat’ untuk dibolehkannya
menjamak shalat. Padahal biasanya para pengantin dan tukang riasnya
selalu membawa-bawa senjata ‘darurat’ yang bisa diplintir seenaknya.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Mazhab
Asy-Syafi’iyah hanya menyebutkan hal-hal yang membolehkan shalat jamak
terbatas pada haji, safar dan hujan dengan syarat tertentu.
Sedangkan
sakit tidak termasuk hal yang membolehkan untuk menjamak shalat.
Artinya orang yang sedang sakit tetap wajib shalat lima waktu dan tetap
tidak boleh mengqasharnya juga.
Alasanya,
karena tidak ada satu pun hadits yang bisa diterima bahwa Rasulullah
SAW pernah menjamak shalat karena sakit. Padahal dalam sirah nabawiyah,
bukan hanya sekali dua kali saja beliau mengalami sakit. Namun tidak ada
satu pun riwayat yang shahih dan sharih yang menyebutkan bahwa
gara-gara sakit kemudian beliau SAW menjamak shalat.
Kalau
pun ada sebagian orang yang mengatakan bahwa sakit adalah salah satu
alasan dari dibolehkannya menjamak shalat, menurut mazhab Asy-Syafi’i
dalilnya sangat lemah, karena hanya dibangun di atas asumsi dan bukan
fakta. Hadir yang lemah itu bukan lemah dari segi periwayatan melainkan
lemah dari sisi istidlal.
Kalau
sakit saja tidak bisa dijadikan alasan kebolehan menjamak shalat,
apalagi sekedar takut bedaknya luntur kena air wudhu’. Tentu lebih tidak
boleh lagi dijadikan alasan untuk menjamak shalat alias haram hukumnya.
Menjamak
Tanpa Udzur Memang ada satu dua pendapat yang terlalu menggampangkan
masalah. Mereka suka meninggalkan shalat begitu saja dengan alasan yang
amat sepele dan dikarang-karang sendiri. Misalnya, karena lagi ada
meeting lalu shalat dengan enaknya ditinggalkan. Cuma karena lagi nonton
di bioskop, shalat Maghrib dilupakan dengan alasan nanti bisa dijamak.
Macet tiap hari di jalan pun sering dijadikan alasan untuk meninggalkan
shalat.
Seolah-olah
apapun kejadian bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat.
Padahal sebenarnya cuma karena malas saja. Tetapi kadang kemalasan itu
ditutup-tutupi dengan dalil yang dipaksakan. Salah satunya adalah hadits
berikut ini :
Nabi SAW pernah menjamak antara Dzhuhr dengan Ashar, dan antara Maghrib dengan Isya, bukan karena takut dan bukan karena hujan.
Kekeliruannya,
hadits ini kemudian dijadikan ‘cek kosong’ yang bisa diisi dengan angka
berapa saja seenaknya. Gara-gara keliru menafsirkan hadits ini maka
keluarlah ‘fatwa’ gadungan yang membolehkan pengantin menjamak
shalatnya. Alasanya terlalu sederhana, takut bedaknya luntur terkena air
wudhu’. Seolah-olah bedak dan riasan itu jauh lebih tinggi derajatnya
daripada shalat lima waktu.
Padahal
kalau kita merujuk kepada pendapat para ulama salaf yang muktamad,
mereka umumnya sepakat bahwa menjamak shalat itu tidak boleh kecuali
memang ada udzhur yang syar’i sebagaimana disebutkan di atas. Bila tidak
ada udzurnya lalu seseorang menggampangkan begitu saja masalah shalat
dengan asal main jamak-jamak saja, maka itulah yang disebut dengan orang
yang melalaikan shalat dan celaka.
Di
dalam Al-Quran tegas disebutkan bahwa celaka orang yang shalat, yaitu
mereka yang lalai dari mengerjakan shalat. Salah satunya adalah orang
yang menjamak seenaknya tanpa adanya dalil yang qathi.
Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu yang lalai dari mengerjakan shalatnya. (QS. Al-Ma’un : 4-5)
Lalai
yang dimaksud bukan tidak khusyu’ dalam shalat, tetapi yang dimaksud
dengan lalai disini adalah sengaja meninggalkan shalat hingga terlewat
waktunya. Padahal setiap shalat itu sudah ditetapkan waktu-waktunya oleh
Allah SWT.
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 103)
Di
dalam Al-Quran juga disebutkan tentang orang-orang yang disiksa di
neraka gara-gara meninggalkan shalat yang sudah ditetapkan.
Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?. Mereka menjawab: “Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat (QS.
Al-Muddatstsir : 42-43)
Dan
orang yang meninggalkan shalat padahal tidak ada udzur syar’i, mereka
termasuk orang-orang yang terancam sebagai tarikushshalah atau
orang-orang yang sengaja meninggalkan shalat. Dan dosa meninggalkan
shalat dengan sengaja bukan dosa yang biasa-biasa dan bukan dosa yang
bersifat main-main. Yang terancam adalah status keislamannya. Sebab
Rasulullah SAW pernah bersabda :
Antara
seseorang dan kekafiran adalah shalat (HR. Muslim) Perjanjian antara
kami dengan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka
telah kafir. (HR. Tirmizy)
Karena
itu kesimpulan dari jawaban ini adalah tidak boleh menjamak shalat
hanya karena alasan yang dibuat-buat tanpa dalil yang qath’i. Salah
satunya tidak boleh menjamak karena takut riasan pengantin jadi luntur
terkena air wudhu’. Tidak boleh berdalil hanya dengan dalil umum yang
diibaratkan dengan pasal karet, yang bisa ditarik kesana kesini
seenaknya.
Jalan Keluar
Lalu apa solusinya biar shalat tetap dijalankan pada waktunya tetapi riasan tidak luntur? Apakah tayammum saja?
Jawabannya
adalah tahan wudhu biar jangan batal. Toh yang jadi masalah cuma
masalah wudhu’, sedangkan shalat tetap sah dilakukan meski sudah pakai
bedak, yang penting shalatnya dalam keadaan suci dari hadats.
Bagaimana
dengan tayammum? Silahkan saja tayammum, tetapi syaratnya kalau sudah
tidak ada air sama sekali. Selama masih ada air tayammum belum bisa
dimainkan. Lagi pula, kalau wajah sudah dirias lalu malah tayammum, apa
tidak jadi rusak bedaknya karena belepotan kena tanah?
CAR,FOREX,DOMAIN,SEO,HEALTH,HOME DESIGN